Tahun berlalu, dan pemberitaan paling hot antara Tuan Ahok dan BPS selalu saja tentang angka kemiskinan, materinya tentang Ahok yang tidak setuju 'cara perhitungan kemiskinan' versi BPS. :)
Kengeyelan Tuan Gubernur ini, untuk yang baru tahu, biasanya akan dikait-kaitkan dengan laporan kinerjanya. Turun bagus, naik jelek. Padahal, mau turun, mau naik, dia itu selalu protes kok. :D Lihatlah arsip pemberitaan tentang Ahok dan BPS. BPS, dengan kepentingan keterbandingan antar wilayah, antar negara, mempertahankan untuk menentukan kesejahteraan berdasarkan garis kemiskinan makanan dan non makanan, penjelasan komplet bisa dituju di sini. Rilis terakhir BPS menyatakan bahwa Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen), dengan Garis Kemiskinan (GK) bulan Maret 2016 sebesar Rp 510.359. Ini maksudnya apa sih? Kalau konsumsi per orang (per kapita) di Jakarta tidak mencapai Rp 510.359 per bulannya, dia dikatakan miskin. Rumahtangga dengan 3 anggota rumahtangga (ayah, ibu, anak satu) dikatakan miskin jika konsumsinya tidak mencapai Rp 1.531.077 per bulannya. Apa sih yang di-ngeyelin Tuan Gubernur? Menurut Tuan Gubernur, kalau diadaptasi kira-kira begini, "Apa kamu bisa hidup layak dengan hanya Rp 510.359 per bulannya, padahal hasil perhitungan KHL 2016 untuk DKI mencapai 2,98 juta?" -upah minimum di DKI Jakarta pada 2016 ini mencapai 3,1 juta- Apa lagi itu KHL? Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah dasar dalam penetapan Upah Minimum. Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) merupakan komponen-komponen pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang dibutuhkan oleh seorang pekerja lajang selama satu bulan. Nah, logika Tuan Gubernur itu sederhananya gini: KHL itu standar kebutuhan hidup layak seorang pekerja lajang, itu saja mencapai 2.98jt. Itu supaya bisa dikatakan layak. Lalu kalau hanya 500rb per bulan, apa itu layak? Tuan Gubernur maunya, garis kemiskinan ditarik sampai KHL. Angka kemiskinan naik drastis gakpapa (disarikan dari omongan dia dimana-mana), tapi dia cuma mau perduli pada warga yang ber-KTP DKI saja. -sebagai warga negara yang ber-KTP DKI Jakarta saya mah bahagia-bahagia saja kalau Tuan Gubernur mau menjamin penduduk berKTP DKI Jakarta pengeluaran konsumsinya mencapai 2.98jt per kapita, berarti penghasilan dijamin di atas itu kan? Hihihi, sayang saya PNS Pusat euy, penghasilan yang nentuin Negara, bukan Tuan Gubernur :D- Bertahun-tahun bukannya tidak jalan lho komunikasi antara BPS Prov DKI dan Tuan Gubernur. Tuan Gubernur itu tahu, mengerti, sudah dijelaskan, dari mana angka kemiskinan itu berasal. Bagaimana penghitungan KHL. Dan kalau untuk sekedar menarik garis kemiskinan ke arah KHL itu BPS bukannya tidak mampu, tinggal digeret aja garisnya :D ketemu angka berapa persennya, tapi itu tidak bisa dikatakan sebagai "penduduk miskin Jakarta", melainkan "penduduk yang di bawah KHL Jakarta" :) Masalah lain muncul. Dia mau data by name by address, dan lagi-lagi harus ber-KTP DKI Jakarta. Hihihihi, dear Tuan Gubernur. Kan Anda sudah tahu, darimana data itu berasal. Dengan survey yang sama, request-mu ini tidak bisa dipenuhi. Dugaan saya, kengenyelan Tuan Gubernur ini selesai setelah dia tahu, ada berapa sih sebenar-benarnya penduduk ber-KTP kan DKI Jakarta yang hidup di bawah kriteria KHL. Bukan masalah naik turunnya, karena Year on Year (dibandingkan dengan tahun lalu), toh turun. Penduduk Miskin DKI Jakarta 5 semester terakhir Maret 2014 (393,98 ribu orang atau 3,92 persen). September 2014 sebesar 412,79 ribu orang (4,09 persen). Maret 2015 sebesar 398,92 ribu orang (3,93 persen). September 2015 sebesar 368,67 ribu orang (3,61 persen). Maret 2016 sebesar 384,30 ribu orang (3,75 persen). (sumber: ringkasan BRS BPS Prov DKI Jakarta:http://jakarta.bps.go.id/index.php/Brs) Dan akhirnya, Tuan saya pun bersabda: "Ahok, Silakan Survei Sendiri Angka Kemiskinan di Jakarta" Hehehe.... nah lho, gimana Tuan Gubernur, siap melaksanakan pendataan sendiri? Di UU No 16 Tahun 1997 tentang Penyelenggaraan Statistik, dan tentang Koordinasi Dan Kerja Sama sudah diatur kok mekanismenya. :) 2014 lalu, pertanyaan saya terhadap beliau itu: "Naik turun itu gampang, kalau yang ada saja belum teratasi, sudah naik mau bagaimana?" Karena beliau dengan entengnya mengatakan bisa sampai 60% penduduk DKI Jakarta yang miskin. :D Dan di 2016 ini, dengan segala perubahan di DKI Jakarta, menghadapi kengenyelan beliau saya cuma bisa senyum dan bergumam "Untung saya bukan Gubernur." :D Untuk kalian-kalian yang berpikir bahwa hubungan BPS dan Tuan Gubernur tidak baik (saling menyalahkan), oooo tidak. Relasi mereka seperti Adi Putranto dan Bastian Irawan. Saling memperhatikan, saling memanfaatkan, saling mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kadang berbeda pendapat, tapi tetap saling mendukung. Dan tetap bertetangga, karena mereka tidak bisa hidup satu atap. :D Dan ya Tuan Gubernur selamanya akan jadi begitu saya rasa: "The Noisy Neighbour"
0 Comments
26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional. Daripada ngeributin penting engganya itu hari diperingati, dan apa manfaatnya, mendingan bahas statistiknya aja yuk. :) Di seminar HAISSTIS kemarin, temanya adalah Statistik dan Politik: Pengelolaan Opini Publik dengan Memanfaatkan Statistik. Salah satu cerita dibelakang tema ini adalah keinginan Dewan Pembina HAISSTIS, Bapak Hamonangan Ritonga, agar kita tidak terjebak dalam politisasi statistik. Kaya apa sih, Fa, politisasi statistik itu? Ini contoh nyata banget, issue paling hangat sebelum 26 September kemarin. Relevan buat dibahas? Hehe, terserah. :) Tapi kita harus sepakat dulu, ini tentang angkanya ya. Jangan diputer ke masalah pro atau kontra. Saya tertarik dengan satu kalimat yang sering banget dipakai buat justifikasi bobroknya kualitas pimpinan hasil pilkada langsung. Kalimat yang dipakai adalah "60% kepala daerah bermasalah secara hukum." Tapi, yang pakai statement ini, kalau saya tanya datanya dari mana, ya ngga bisa nunjukin juga. Jadilah, saya telusuri ke belakang. Bagaimana sejarahnya. :) Alkisah, Februari 2014 Kemendagri merilis suatu fakta, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Untuk itu harus ada perbaikan dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diadakan pada 2015 atau setelah pelaksanaan pemilihan umum legislatif 9 April 2014 serta pemilihan presiden 9 Juli 2014. Berita tentang ini bisa dilihat di sini, persennya datangnya dari bagian kalimat ini: Terkait dengan sanksi bagi partai politik (parpol) yang mengusung seorang kepala daerah, dia menegaskan, hal tersebut sama sekali tidak memiliki hubungan. ”Itu tidak ada urusan sama parpol. Kepala daerahnya kan terpilih dan ia melakukan tindak pidana korupsi, itu menjadi tanggung jawab dia. Kenapa parpol dibawa-bawa? Artinya citra parpol bisa turun di mata masyarakat,” tandasnya. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Saya coba ganti keyword googlingnya, dari 318 kepala daerah bermasalah, menjadi 60% kepala daerah bermasalah. Ini yang saya dapat, lengkapnya akses di sini PPP, ujarnya, sudah lama mengusulkan untuk melakukan peninjauan ulang sistem pilkada langsung. Sedangkan yang menyangkut pembahasan RUU Pilkada, dia menegaskan bahwa pilihan politik PPP telah ditentukan oleh hasil rekomendasi Mukernas II PPP di Medan pada tahun 2012. Setidaknya PPP memberikan 6 catatan soal kelemahan pelaksanaan pilkada langsung. atau yang ini Kendati demikian, Kemendagri siap menerima apa pun hasil yang diputuskan para legislator Senayan. "Nanti RUU ini akan diputuskan di paripurna DPR, dan kita siap apa pun hasilnya," ujar Djohermansyah. Dari semua angka persentase yang disajikan itu, ada beberapa pertanyaan saya. :) Pertama, terkait temuan Denny Indrayana. Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, sekitar 70 persen kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Ada angka 291, terhadap berapanya tidak ada, dan seriesnya sejak 2004 sampai Februari 2013. 2004, pilkada langsung belum diberlakukan. Kedua, terkait apa yang diklaim sebagai catatan kelemahan pilkada langsung oleh PPP. Kedua, pelaksanaan pilkada langsung telah mengantarkan 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Dugaan saya ini membagi 314 yang dilansir Kemendagri, dengan 524 juga angka yang dilansir Kemendagri. Hanya saja, mengabaikan kata "SEJAK", dengan kata lain itu adalah periode 2005 hingga akhir Januari 2014. Lebih lengkapnya, pimpinan daerah bermasalah sejak 2005 hingga akhir Januari 2014. Sayangnya, saya gak lihat data Kemendagri-nya. Karena kalau iya, saya pengen nanya, mengingat 2005 belum semua daerah melaksanakan pilkada langsung, itu sudah dipilah yang masih dipilih DPRD atau belum? Tapi, lupakan sajalah, toh Kemendagri tidak merilis persennya. Hanya pembacanya saja yang salah menafsirkan hitung-hitungannya. Ketiga, saya penasaran ada berapa pilkada langsung sih sejak 2005 itu? Tadinya saya mencari di sini, tapi datanya gak lengkap. Terus nemu deh, abstraksi disertasi Gamawan Fauzi. Ada yang upload di sini hehehe.... Pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia dimulai sejak bulan juni tahun 2005, sebanyak 528 daerah telah melaksanakan pilkada langsung dan berlangsung sebanyak 1.027 kali. .... Perhatian, itu penulisan Juni bukan saya yang salah ketik ya, memang capture-annya demikian.
Jadi, karena itu disertasi, tentunya berdasarkan fakta. Maka, berdasarkan uraian di atas, seharusnya penghitungan persentasenya adalah: Asumsikan 318 itu sudah dipilah hanya yang pilkada langsung, yang dipilih oleh DPRD sudah dikeluarkan. Persentase pemimpin bermasalah pasca era pilkada langsung = 318 / (1027*2) * 100%. Kenapa kali dua, karena konsepnya Kemendagri sendiri yang bilang, itu meliputi pemimpin atau wakilnya. Dan inipun masih berupa taksiran, harusnya dipilah lagi, 1.027 itu harusnya dikurangi jumlah yang incumbent. (Semoga gak ada yang bermasalah dua kali lah ya.) Nah, apakah ada yang sepakat dengan saya bahwa 60% itu adalah salah satu contoh dari politisasi statistik? Hayoooo, di 2014 gini siapa yang masih punya diary? :)
Sepertinya, blog ini bakalan jadi diary resmi saya. Hehehe.... abisan kemarin ada yang nantangin "nulis status wae di facebook moal matak jadi duit, Fa...." bwahahaha. Dia berhasil memotivasi saya untuk lebih banyak menulis. Sayangnya blog ini berbeda dengan diary masa kecil saya. My little red book, bebas mau maki-maki orang yang saya sebel, ceritain yang bagus-bagus tentang orang yang saya suka, dan akhirnya sebel lagi ketika akhirnya patah hati. An ordinary cycle of love and life. Tuh ya buat kamu yang pertama kali patah hati, dengerin nasehat orang dewasa. Nanti juga kamu sembuh, ketemu lagi orang yang lain, nah, mendingan langsung saja diresmikan. :) Percuma tau nunggu lama-lama kalo akhirnya ngga jadi juga. (ih, kenapa cerita lu harus jadi teori, Fa? LOL) But I do miss my diary. Ada tiga versi saya dalam setiap diary. The dark side of me, the white side of me, and me. Terjebak di antara keduanya. :) terjebak di sini maksudnya, saya tau final destination saya jadi orang yang lebih baik lagi setiap harinya, tapi dalam proses menuju kesana saya masih suka konyol, masih suka lebay, masih suka stupid, yang makin menjauhkan saya dari tujuan saya semula. Itu fungsinya si white side of me tadi. To wake me up, bring me to the reality. But I still miss my diary. Tempat di mana saya bisa jadi saya. I miss the old me, gak semuanya sih, sebagian aja. Hehehe. Periode dimana ngga satupun yang dapat melemahkan saya akan apa yang saya percaya. :) Tapi, diary itu salahnya suka diam saja. Bahkan di saat saya menggila sekalipun. Ngga pernah protes. Gak ngingetin kalo itu salah, iyalah Fa, kan itu cuma buku. Makanya, diary nya dipindah kesini aja deh. Catatannya alfa, tentang semuanya. Dulu ceritanya, ada seorang lelaki, yang jatuh cinta kepada saya versi buku dan google. Waktu itu saya tertawa, dan meminta maaf kepadanya. Maaf, itu bukan saya yang tulis. Ada seseorang yang menuliskan untuk saya, itu saya yang dia inginkan! Lelaki yang menuliskan tentang saya, versi dia, yang dia inginkan dari saya. Dan kemudian saya menebus kesalahpahaman itu dengan mengizinkan dia mengenal saya, dari saya, versi saya. :) Lelaki yang menceritakan tentang saya versinya itu adalah Daddy. Sampai kapanpun, di matanya, saya adalah putri kecilnya yang itu *menelan ludah, ada banyak waktu dimana saya mengecewakanmu, Dad* Lelaki yang jatuh cinta pada saya versi risetnya dia itu adalah suami saya sekarang. :) Lelaki yang saya pernah harapkan akan menjauh karena versi nyata saya berbeda sama sekali dengan apa yang dia baca. Yang kepadanya, didepannya, saya berusaha untuk menjadi semenyebalkan mungkin yang saya bisa. Dan dia bertahan. Lucu. Karena akhirnya saya kebingungan, beneran ya ada yang bisa menerima saya yang seperti ini. Itulah saat dimana saya menjawab ajakannya untuk bersama dengan sebuah ide tentang pernikahan. Sebuah moment, yang selalu menarik untuk dikenang. I will try to be my self here. Coz I do miss my diary. A lot. Gak ada satupun link mengenai si jilbab gaul - maaf saya gak minat mempopulerkan istilahnya - yang pengen saya share di timeline ini.
Manusia hidup itu cari apa sih? Berusaha untuk menjadi lebih baik, kan? Ada ga yang langsung ujug-ujug baik? Ujug-ujug sempurna? Alhamdulillah kalau teman-teman termasuk yang demikian, saya ikut berbahagia untuk Anda. Kepada beberapa sahabat yang sedang menguatkan diri untuk hijrah dan bertanya, cerita saya gini "Dulu saya pikirpun saya gak akan pernah mau pakai sebelum merasa pantas. Lalu kemudian saya berpikir, bagaimana jika saya kemudian gak pernah merasa pantas? Dan saya pun membalik logikanya. Jadilah. Digugurkan dulu kewajibannya, mari kita mulai memantaskan diri." Apakah itu mudah? Ya tidaklah. Tidak seperti Roro Jonggrang yang membangun Tangkuban Perahu dalam semalam, eh.... Lewat banyak proses lebay, dan sampai sekarang pun Alhamdulillah saya tidak pernah merasa sempurna. Jadi kalau adik perempuannya, anak gadisnya, anak tetangganya, anak saudaranya, atau malah anaknya siapa yang Anda juga gak tahu, kemudian mengenakan -jilbab yang tak pantas-, pantas gitu beritanya disebar-sebarkan? Kalau memang perduli, dan tujuannya mengingatkan kerabat dekat kita, ingatkan langsung ke orangnya (jangan lewat socmed juga keleus, itu mah namanya pengumuman). The rule is so simple. Kalau kemudian jadi ada yang membuka hijabnya, saya juga jadi gak aneh. Kan emang beberapa dari kita juga suka ngomong "Mending gak pake daripada begitu...." You got what you ask, my friends.... Mari kita sama-sama mendoakan mereka-mereka yang fotonya dipajang tanpa izin itu, agar menjadi lebih baik lagi. Oiya, saya pun yakin beberapa dari teman gak bermaksud menyebarkan foto, hanya ingin share beritanya saja. Pesan saya, thumbnail bisa di edit. Bisa tanpa thumbnail. Tapi tetap saja itu tidak menolong untuk tidak mempopulerkan istilah itu. #menolakmempopulerkan Masih ingat gak, ketika istri dari seorang artis Ibukota (ehm), meninggal dunia akibat kecelakaan, dan ada yang posting foto jenazahnya di media sosial? Reaksi apa yang didapatnya? Diingatkan, bahwa itu tidak sepantasnya (ada yang dengan cara halus, ada juga yang kasar, di-bully lah istilahnya, hehehe).
Di grup wa/bbm/line yang saya ikuti, saya jg lumayan cukup ngeyel soal foto2an ini. Utamanya foto yang mengeksploitasi bagian tubuh, alasan saya ya jelas, saya tidak menganggap itu lucu, dan gadget saya yang pakai bukan cuma saya sendiri, tapi anak-anak juga. Maka ketika ada yang memperingatkan, salah sendiri anaknya dibebasin pake gadget ibunya, dengan senang hati saya leave groupnya. Sekarang saya khawatir. Tentang etika penyebaran foto jenazah. Saya mengerti betapa ingin rekan-rekan memperlihatkan kekejaman tentara Israel di Palestina, dengan bukti betapa banyak anak kecil yang menjadi korban. Saya tidak kuasa memberikan larangan kepada rekan-rekan. Tapi saya minta tolong, lagi-lagi juga dengan alasan gadget saya milik umum di rumah itu. Yang perlu dipertimbangkan untuk memuat foto jenazah/korban kecelakaan/korban perang (masuk kategori disturbing pictures), etika umumnya, gak boleh menampilkan gambar korban yang rusak/hancur di berbagai media untuk umum. Kalaupun memang merasa perlu menampilkan biasanya di sensor, atau kalau gak mau nyensor karena kepentingan tertentu, wajib memberikan keterangan dan peringatan di awal bahwa gambar yang akan ditampilkan berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan dan gangguan bagi si pemirsa yang akan melihat. Dan biasanya lagi, foto itu ditampilkan hitam putih, agar merahnya darah tersamarkan (merah darah punya efek psikologis yang kurang baik untuk pembacanya). Saya mengerti tidak ada maksud jelek dari kawan-kawan dalam menshare gambar-gambar itu. Tapi untuk menjaga keseimbangan, yuk kita juga mulai peduli pada etika-etika di dunia. Setidaknya, jika memang merasa perlu menampilkan itu sebagai bukti kekejaman Israel, please edit dulu jadi hitam putih. Bagaimana kalau itu hasil thumbnail berita yang di share link nya? Thumbnail bisa dipilih. Bisa tanpa thumbnail juga. Selamat malam, semuanya. #kokjadikangendenganduniajurnalistikya? Belajar hidup itu belajar tentang keseimbangan. Untuk setiap kelebihan yang dititipkan pada manusia, dilengkapi dengan paket ujiannya.
Bisa jadi, orang yang bahagia itu, yang telah lulus dari banyak paket ujian. Batas toleransinya terhadap rasa sedih, rasa sakit, rasa kecewa, melebar. Lebih banyak bersyukur, yang akan membawanya terhadap rasa bahagia. Dan pada akhirnya, orang-orang yang bahagia itu akan menganggap semua permasalahan dunia itu sederhana, bukankah ia telah melewati yang sebelum-sebelumnya? Kamu tahu, yang membuat mahasiswa terhambat dalam menuliskan tugas akhirnya adalah: 1. Ga suka ama topiknya 2. Kurang membaca (Tere Lije, 2013)
Hahahaha.... berasa ditabok ga tuh Fa? Pasti mau bilang (1) kan? Wew.... Enjoy ur risk.... mari belajar mencintai hal yang paling kita benci sekalipun, selama itu bermanfaat. *tarik napas dalem-dalem, dalem banget deh pokoknya* Dapatpertanyaan, bagaimana mulai mencintainya? Seharusnya pertanyaan bagaimana mencintai itu tidak muncul pada orang yg sudah menikah, mereka akan mengerti bagaimana caranya. Tidakkah pada saat tertentu orang yang paling kita sayangi itu kadang-kadang jadi orang yang super nyebelin? Apa yg membuat bertahan? Komitmen, dan 'membangkitkan momen' (terserah mau pake MGF techniques or else, wkwkwkwk) Kalau kata si bang Tere Lije tadi sih temukan motivasi u menulis. Pengen cepet lulus salah satunya. Iya gaaaaa? Ah gw jg cuma berteori. Kita buktikan nanti, bagaimana kemampuan gw bertahan menghadapi masa kegelapan ini. Huahahahaha.... Anak jaman sekarang itu punya banyak pilihan untuk menjalankan hidup. Pada anak-anak saya bilang, tahu dulu banyak-banyak nanti baru pilih, sukanya mau yang mana. Dan kalau udah suka, jangan tanggung-tanggung, harus menghasilkan sesuatu.
Setidaknya sebagian besar generasi saya ke atas, mengamini ini. Jaman dulu, pilihan cita-cita sedikit. Kalo ga jadi insinyur, ya jadi dokter. Tetapi seperti yang pernah dikatakan Danial Rifki (2013), yang paling menyenangkan itu menerima bayaran yang bagus untuk mengerjakan hal yang kita senangi. Maka, bersungguh-sungguhlah! Pada anak-anak, saya tidak pernah mau berkata bahwa belajar itu susah. Entah. Itu seperti kata awal untuk menjadi apriori, bermusuhan dengan ilmu. Namun, hati kecil saya mengakui bahwa pelajaran anak-anak saya tidak mudah. Bahkan, seringkali, hanya untuk menjawab pr pr mereka, saya dan suami harus berdiskusi panjang sampai pada satu jawaban yang 'make sense' dan bisa dijelaskan dengan mudah pada anak-anak.
Si kecil bertanya, lihat deh bu, soal ini aneh. Kata bu guru ga ada jawabannya. Sebutkan contoh gerak pada tumbuhan "Lho, ada itu jawabannya, de. Contoh yang paling gampang dilihat bagaimana putri malu menutup daunnya ketika disentuh...." Si kecilku kemudian menambahkan "tapi kan tumbuhan ga bisa jalan...." Ah, gemas deh. Harusnya yang pertama dijelaskan adalah konsep geraknya dulu, dan jalan itu adalah bagian dari gerak. Yang lebih gemasnya lagi, bahan ujian mereka kok horor horor sih. Si besar kewalahan menghapalkan jenis tulang, macam tulang, bentuk tulang, jumlah tulang, dan itu baru satu bab! Kemarin ditanyakan pula, siapa yang bertugas mengawasi keuangan daerah? Apa tugas-tugas dari lembaga daerah? Lucu ya, ditanyakan ke anak SD dengan harapan, mungkin, mana saya tau apa yang ada di otak penyusun kurikulum, mereka punya kesadaran sejak dini tentang fungsi pemerintahannya. Malah bikin saya nyengir ketika dia nanya "Kalau memang tugas DPR itu mengawasi penggunaan anggaran, kenapa ada yang korupsi?" Ah, belajar itu seharusnya menyenangkan. Menjawab pertanyaan mereka juga menyenangkan. Hanya saja, kenyataan sesungguhnya, selalu tak seperti apa yang diajarkan di kelas. Dengan segala kerendahan hati, tolonglah siapapun itu orang yang di Kementrian Pendidikan, utamanya yang bertanggungjawab terhadap Pendidikan Dasar, jadikan masa-masa SD itu sebagai pondasi untuk berpikir BELAJAR, SEKOLAH, ITU MENYENANGKAN! Karena seharusnya, memang demikian. Me: "De, kenapa itu jidat benjol"
At: "Hehe.... lagi bikin video, terus jatuh...." Me: "Maksudnya?" At: *ambil hp* "Lihat nih...." Video halaman depan, gang depan rumah, ayam mati entah punya siapa, pasir, kresek-kresek, bunyi aduh, berdiri lagi, tangan ngelap lensa, dan seterusnya.... Me: "Maksudnya apa ini ceritanya?" At: "Semuanya.... ini adalah sekitar kita...." *nyengir lebar.... ah saya tau siapa role model cengiran lebar itu* Mengernyitkan kening.... okelah Nak, bersyukurlah kamu saya dibesarkan di antara para seniman yang nyentrik itu, hehehe.... suatu saat, saya yakin, gambar-gambar itu akan bermakna, kamu akan menyusunnya berdasarkan satu cerita. Ini baru awal saja.... keep trying! *cium pipi, ga tega mau cium jidat* |
AuthorSebagian dari teman saya sepakat bahwa saya adalah type orang yang "segala dipikirin", karenanya, saya mencoba untuk menuliskan apa saja yang saya pikirkan itu. Archives
February 2018
Categories
All
|